Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern

Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern

Oleh Bapak Prof. Dr. H. Barsihannor, M.Ag
(Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar)
Ditulis Pada tanggal 25 Nopember 2025 ketika beliau menghadiri Pengukuhan 4 orang Guru Besar -salah seorangnya adalah saya sendiri- di UIN Palangka Raya kalimantan Tengah yang sebelumnya beliau juga menjadi narasumber pada kuliah umum di Pascasarjana UIN Palangka Raya. 

Tulisan beliau adalah sebagai berikut:

Catatan kecil ini merupakan refleksi atas bacaan saya terhadap teks orasi ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag., pakar metodologi hukum Islam yang dikukuhkan pada Selasa, 25 November 2025. Dalam orasinya, dia menegaskan kembali arti penting Ushul Fikih sebagai fondasi berpikir dalam memahami hukum Islam, sekaligus menjawab berbagai kesalahpahaman yang masih tersebar di masyarakat. Semua ini memperlihatkan adanya jurang pengetahuan yang harus dijembatani melalui edukasi yang lebih sistematis dan komunikatif.

Kehadiran saya pada agenda ini disamping menjadi dosen tamu di PPs UIN Palangkaraya juga untuk menyaksikan bagaimana wacana ilmiah tentang Ushul Fikih kini kembali mendapat energi baru melalui kontribusi para ahli, termasuk Prof. Abdul Helim, yang mendorong transformasi metodologi hukum Islam agar lebih membumi dan relevan dengan dinamika sosial.

Menurut Prof. Helim banyak masyarakat belum menyadari bahwa Ushul Fikih bukan sekadar teori kontruksi hukum Islam, tetapi perangkat intelektual yang menentukan bagaimana hukum Islam diterapkan secara kontekstual dan adil. Karena itu diperlukan adaptasi terminologi Ushul fiqh agar masyarakat lebih mengerti.

Kesalahpahaman sering muncul karena terminologi yang digunakan sebagai ijma’, qiyas, istishab, maslahah, hingga ‘urf, terasa asing dan “terlalu Arab” bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu diperlukan ikhtiar untuk mengadaptasi istilah dengan konsep yang lebih mudah. Misalnya, ijma’ sepadan dengan konsensus, qiyas dekat maknanya dengan analogi, al-mashlahah identik dengan asas kemanfaatan, al-‘urf serupa dengan asas sosial budaya, al-istishab sejalan dengan asas praduga tak bersalah, dan qaul sahabi berdekatan dengan konsep yurisprudensi. Titik temu terminologi ini bukan sekadar latihan akademik, tetapi jembatan kognitif yang membantu masyarakat memahami Ushul Fikih tanpa merasa terasing dari istilah teknisnya.

Tantangan pembelajaran Ushul fiki juga terletak pada struktur kurikulum di PTKIN. Ushul Fikih kerap ditempatkan di semester 1 atau 2, saat mahasiswa belum matang secara intelektual dan psikologis untuk menerima materi filsafat hukum Islam. Akibatnya, banyak yang mempelajari Ushul Fikih hanya sebagai kewajiban, bukan sebagai disiplin yang strategis untuk memahami syariah secara utuh. Padahal, jika diletakkan setelah mahasiswa memiliki pengalaman dasar fikih dan logika, Ushul Fikih akan lebih mudah dipahami dan lebih terasa manfaatnya sebagai kerangka berpikir.

Selain itu, tantangan sosial juga tidak bisa diabaikan. Ketidaksukaan sebagian kelompok terhadap Ushul Fikih muncul dari kecenderungan anti-intelektual, atau sikap menolak keragaman metodologi yang sesungguhnya telah menjadi kekayaan tradisi Islam sejak era sahabat. Mereka khawatir Ushul fiqh akan mendekonstruksi hukum yang sudah mapan selama ini dan menjadi pegangan status quo bagi kelompok tertentu.

Ke depan, pengembangan Ushul Fikih memerlukan strategi baru, bahasa yang lebih komunikatif, integrasi dengan isu-isu kontemporer seperti HAM, ekologi, digitalisasi, dan tata kelola publik, serta penekanan bahwa Ushul Fikih adalah metodologi yang relevan lintas zaman. Para akademisi perlu terus memformulasikan bentuk-bentuk baru pengajaran, termasuk analogi modern, pendekatan studi kasus, hingga kolaborasi dengan ilmuwan sosial dan praktisi hukum positif. Dengan cara ini, Ushul Fikih tidak hanya dipahami, tetapi juga dirasakan manfaatnya dalam kehidupan publik.

Saya menyampaikan ucapan selamat yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag., atas pengukuhan sebagai Guru Besar. Dia adalah mahasiswa S1 pertama saya yang sukses meraih jabatan akademik tertinggi profesor, di usia yang relatif masih muda.

Terima kasih saya sampaikan atas undangannya untuk menghadiri acara bersejarah tersebut. Semoga Allah senantiasa memberkahi perjalanan intelektualnya.

"Ilmu akan tetap bercahaya selama kita terus berjalan menuju kebenaran, dan setiap langkah memahami hukum adalah langkah memperhalus kemanusiaan."


Tag:
Postingan Terbaru
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
  • Menggembalakan Akal, Menjernihkan Syariat: Menjembatani Terminologi Klasik dengan Bahasa Hukum Modern
Posting Komentar