Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam

Artikel Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam ini mengkaji tentang salah satu pemenuhan adat dalam pernikahan suku Dayak Siang. Salah satu hal tersebut adalah Koroketon Beti. Koroketon Beti ini sendiri adalah hal-hal yang wajib diserahkan calon mempelai pria kepada calon mempelai Wanita menurut adat suku Dayak Siang, Kalimantan Tengah. Barang-barang tersebut seperti 1 buah Mandau, 2 gram emas, 2 buah bujuh/mangkok, 1 buah Guci, 1 buah cohot/ gelang, SebidangTanah, 1 buah sangku/mangkok, 5 gram emas, 110 Gantang/ Takaran Padi dan 1 buah Gong. Masing-Masin barang tentu memiliki makna filosofis tersendiri. Namun dalam Peraturan Hukum Adat Dayak Siang Murung di Kabupaten Murung Raya sekarang khususnya pada pasal III menetapkan bahwa Koroketon Beti dapat dipenuhi dalam bentuk pembayaran uang, padahal sebelumnya mesti berupa benda yang disebutkan di atas.

Oleh karena itu kajian ini bertujuan untuk menelusuri pergeseran praktik dari ketentuan tradisional yang mewajibkan pemberian barang tertentu, menuju praktik pemenuhan dalam bentuk uang sebagaimana berlaku dalam hukum adat tersebut.

Hasil kajian ini adalah: 

1. Memberikan  uang  tunai dianggap  lebih  praktis  dibandingkan  dengan  barang  fisik yang  sulit  didapatkan  atau  mahal  untuk  diangkut,  terutama  jika  melibatkan  barang-barang tradisional seperti gong atau guci antik. 

2. Perubahan   pola   ekonomi   masyarakat   Dayak   dari   agraris   ke   modern   turut memengaruhi  cara  pandang  mereka  terhadap  simbol  adat.  Uang  tunai  lebih  relevan dalam konteks kebutuhan ekonomi saat ini.

3. Barang-barang  adat  seperti  gong  dan  guci  antik  semakin  langka  dan  mahal,  sehingga banyak keluarga memilih uang sebagai pengganti.

4. Generasi  muda  lebih  cenderung  memilih  bentuk  pemberian  yang  dapat  langsung digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau investasi masa depan.

5. Urbanisasi  menyebabkan  perubahan  pola  pikir  masyarakat  yang  tinggal  di  kota,  di mana nilai simbolis barang adat mulai digantikan oleh nilai ekonomi.

Pergeseran ini memiliki beberapa dampak: 

Dampak positifnya bahwa pergeseran  pada  pemenuhan  adat  pernikahan  dari yang   awalnya  berbentuk   barang   ke   uang   tunai memiliki   dampak   yang   kompleks. Dampak  tersebut  dapat  dilihat  dari  sisi  budaya,  ekonomi,  sosial  dan  keberlanjutan  adat istiadat  tersebut.  Kalau  dilihat  dari  dampaknya  positif  tentu  akan  mempermudah  adat tersebut  dari  sisi  efisiensi  uang  tunai  akan  lebih  mudah  dikelola  dibandingkan  barang adat  yang  terkadang  langa  atau  sulit  untuk  dipenuhi  seperti  pada  pemenuhan  adat Koroketon  Betiterutama  dalam  konteks  masyarakat  modern  ini.  Kemudian  dari  sisi fleksibilitas  pasangan  pengantin  dapat  menggunakan pemenuhan  adat  tersebut  untuk kebutuhan lain selain Koroketon Beti tersebut seperti membangun rumah, Pendidikan dan modal usaha serta megurangi ketimpangan konflik karena tidak semua keluarga mampu menyediakan  barang-barang  adat  yang  mahal  seperti  pengadaan  sebidang  Tanah  dan emas.

Dampak negaifnya bahwa  pemenuhan  adat  dengan menggunakan uang tunai akan menghilangkan nilai simbolis budaya barng barang seperti gong,  guci  dal  lainnya  memiliki  simbolis  yang  mewakili  nilai  sejarah  dan  budaya. Generasi  muda  mungkin  tidak  akan  lagi  bisa  memehami  makna  atau  nilai  historis  dari barang  adat.  Pergeseran  ke  uang  tunai  dapat  memicu  pandangan  bahwa Koroketon Beti hanya soal nilai ekonomi sehingga mengurangi makna adat sebagai wujud penghormatan terhadap budaya.Solusi untuk mengurangi dampak negatif yaitu menggabungkan pemberian uang tunai  dengan  simbolis  barang  adat  untuk  menjaga  nilai  tradisi  sekaligus  mempermudah pelaksanaan.  Generasi  muda  perlu  diberi  pemahaman  tentang  makna  filosofis  tradisi agar mereka tetap menghormati budaya meski menggunakan cara modern. Keterlibatan Tokoh Adat: Peran tokoh adat tetap dioptimalkan untuk menjaga esensi adat meskipun bentuk  implementasinya  berubah.  Menyepakati  pemenuhan  adat Koroketon  Betiyang tidak   memberatkan,   baik   dalam   bentuk   barang   maupun   uang.   Pergeseran   ini menunjukkan  dinamika  budaya  yang  tidak  bisa  dihindari,  tetapi  harus  dikelola  dengan bijak agar nilai-nilai adat tetap terjaga dalam kehidupan modern.

Jika dilihat dari Islam maka dapat dipahami bahwa konsep Koroketon Beti adalah mirip dengan konsep mahar atau mas kawin dalam Islam. Sebagaimana Koroketon Beti yang wajib diberikan, mahar juga demikian. Mempelai pria di dalam wajib memberikan mahar kepada mempelai perempuan. Secara tekstual, hukum Islam tidak mewajibkan pemberian Koroketon Beti, melainkan mensyaratkan adanya mahar. Namun, praktik pemberian Koroketon Beti diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam dan merupakan adat yang telah berlangsung secara turun-temurun.

Adapun perubahan bentuk pemberian dari barang-barang tertentu kepada uang menunjukkan dinamika budaya yang tidak dapat dihindari untuk kehidupan sekarang. Oleh karena itu perubahan ini mesti dikelola dengan baik dan bijak agar budaya tetap berjalan dan nilai-nilai tradisional itu tetap lestari walaupun hidup di dalam kehidupan modern.

Artikel ini dipublikasikan di Jurnal Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol 24, No 2, 2024. Tentu banyak kekurangannya dan perlu untuk diteliti Kembali atau dilihat dari sisi yang lain. Jika tertarik dengan artikel ini dapat didownload di sini.

Tag:
Postingan Terbaru
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
  • Transformasi Pemenuhan Adat Pernikahan Suku Dayak Siang : Perspektif Antropologi Hukum Islam
Posting Komentar