Oleh karena itu kajian ini bertujuan untuk menelusuri pergeseran praktik dari ketentuan tradisional yang mewajibkan pemberian barang tertentu, menuju praktik pemenuhan dalam bentuk uang sebagaimana berlaku dalam hukum adat tersebut.
Hasil kajian ini adalah:
1. Memberikan uang tunai dianggap lebih praktis dibandingkan dengan barang fisik yang sulit didapatkan atau mahal untuk diangkut, terutama jika melibatkan barang-barang tradisional seperti gong atau guci antik.
2. Perubahan pola ekonomi masyarakat Dayak dari agraris ke modern turut memengaruhi cara pandang mereka terhadap simbol adat. Uang tunai lebih relevan dalam konteks kebutuhan ekonomi saat ini.
3. Barang-barang adat seperti gong dan guci antik semakin langka dan mahal, sehingga banyak keluarga memilih uang sebagai pengganti.
4. Generasi muda lebih cenderung memilih bentuk pemberian yang dapat langsung digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau investasi masa depan.
5. Urbanisasi menyebabkan perubahan pola pikir masyarakat yang tinggal di kota, di mana nilai simbolis barang adat mulai digantikan oleh nilai ekonomi.
Pergeseran ini memiliki beberapa dampak:
Dampak positifnya bahwa pergeseran pada pemenuhan adat pernikahan dari yang awalnya berbentuk barang ke uang tunai memiliki dampak yang kompleks. Dampak tersebut dapat dilihat dari sisi budaya, ekonomi, sosial dan keberlanjutan adat istiadat tersebut. Kalau dilihat dari dampaknya positif tentu akan mempermudah adat tersebut dari sisi efisiensi uang tunai akan lebih mudah dikelola dibandingkan barang adat yang terkadang langa atau sulit untuk dipenuhi seperti pada pemenuhan adat Koroketon Betiterutama dalam konteks masyarakat modern ini. Kemudian dari sisi fleksibilitas pasangan pengantin dapat menggunakan pemenuhan adat tersebut untuk kebutuhan lain selain Koroketon Beti tersebut seperti membangun rumah, Pendidikan dan modal usaha serta megurangi ketimpangan konflik karena tidak semua keluarga mampu menyediakan barang-barang adat yang mahal seperti pengadaan sebidang Tanah dan emas.
Dampak negaifnya bahwa pemenuhan adat dengan menggunakan uang tunai akan menghilangkan nilai simbolis budaya barng barang seperti gong, guci dal lainnya memiliki simbolis yang mewakili nilai sejarah dan budaya. Generasi muda mungkin tidak akan lagi bisa memehami makna atau nilai historis dari barang adat. Pergeseran ke uang tunai dapat memicu pandangan bahwa Koroketon Beti hanya soal nilai ekonomi sehingga mengurangi makna adat sebagai wujud penghormatan terhadap budaya.Solusi untuk mengurangi dampak negatif yaitu menggabungkan pemberian uang tunai dengan simbolis barang adat untuk menjaga nilai tradisi sekaligus mempermudah pelaksanaan. Generasi muda perlu diberi pemahaman tentang makna filosofis tradisi agar mereka tetap menghormati budaya meski menggunakan cara modern. Keterlibatan Tokoh Adat: Peran tokoh adat tetap dioptimalkan untuk menjaga esensi adat meskipun bentuk implementasinya berubah. Menyepakati pemenuhan adat Koroketon Betiyang tidak memberatkan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Pergeseran ini menunjukkan dinamika budaya yang tidak bisa dihindari, tetapi harus dikelola dengan bijak agar nilai-nilai adat tetap terjaga dalam kehidupan modern.
Jika dilihat dari Islam maka dapat dipahami bahwa konsep Koroketon Beti adalah mirip dengan konsep mahar atau mas kawin dalam Islam. Sebagaimana Koroketon Beti yang wajib diberikan, mahar juga demikian. Mempelai pria di dalam wajib memberikan mahar kepada mempelai perempuan. Secara tekstual, hukum Islam tidak mewajibkan pemberian Koroketon Beti, melainkan mensyaratkan adanya mahar. Namun, praktik pemberian Koroketon Beti diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam dan merupakan adat yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Adapun perubahan bentuk pemberian dari barang-barang tertentu kepada uang menunjukkan dinamika budaya yang tidak dapat dihindari untuk kehidupan sekarang. Oleh karena itu perubahan ini mesti dikelola dengan baik dan bijak agar budaya tetap berjalan dan nilai-nilai tradisional itu tetap lestari walaupun hidup di dalam kehidupan modern.
Artikel ini dipublikasikan di Jurnal Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol 24, No 2, 2024. Tentu banyak kekurangannya dan perlu untuk diteliti Kembali atau dilihat dari sisi yang lain. Jika tertarik dengan artikel ini dapat didownload di sini.

