Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa keberadaan tanah sebagai palaku dalam perkawinan adat Dayak Ngaju, sebagaimana yang dipermasalahkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor 63/PDT/2020/PT. PLK, menunjukkan adanya kekosongan hukum yang serius terkait pengakuan dan pengaturan objek adat dalam konteks hukum nasional, khususnya jika objek tersebut merupakan harta bersama dari perkawinan sebelumnya. Ketidakharmonisan antara hukum adat dan hukum positif menyebabkan hak-hak perempuan, terutama sebagai istri sah dalam perkawinan terdahulu, menjadi rentan diabaikan dan tidak terlindungi secara maksimal. Putusan peradilan yang lebih mengakomodasi praktik adat tanpa mempertimbangkan legalitas formal dan asas persetujuan dalam pengalihan harta bersama telah melahirkan ketidakadilan substantif yang seharusnya menjadi perhatian serius pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum, agar ke depan terdapat regulasi yang mampu menyelaraskan nilai-nilai adat dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan hukum bagi seluruh warga negara, terutama perempuan dalam sengketa perceraian yang melibatkan sistem hukum ganda.
Artikel ini dipublikasikan di Jurnal Kartika: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 5 No. 2 (2025). Tentu banyak kekurangannya dan perlu untuk diteliti Kembali atau dilihat dari sisi yang lain. Jika tertarik dengan artikel ini dapat didownload di sini.

