
Tiwah adalah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau arwah anggota keluarga yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju, yaitu lewu tatau (surga) yang terletak di langit ke- tujuh. Keterlibatan masyarakat muslim dalam upacara tiwah terdiri dari dua bentuk. Pertama, terlibat penuh dalam semua rangkaian kegiatan. Kedua, terlibat dalam sebagian kegiatan.
Masyarakat muslim yang terlibat penuh beralasan bahwa keterlibatan tersebut dalam rangka menghormati orang tua mereka yang telah meninggal. Meskipun sebelumnya mereka telah mendapatkan arahan dari pemuka agama Islam (ustaz) bahwa kegiatan tiwahitu terlarang (haram) untuk diikuti oleh orang Islam, namun mereka terpaksa mengabaikan arahan ustaz demi penghormatan terhadap orang tuanya. Namun, mereka tetap meniatkan dalam hatinya bahwa keikutsertaan itu bukan lantaran alasan keagamaan, melainkan sebatas alasan sosial dan kedekatan emosional dengan orang-orang yang telah meninggal.
Masyarakat muslim yang terlibat dalam sebagian rangkaian acara beralasan bahwa sebagian kegiatan dalam rangkaian tiwahitu betul-betul tidak dapat ditoleransi oleh Islam, seperti menombak hewan, meminum minuman keras, atau membaca mantra-mantra menurut ajaran Hindu Kaharingan. Oleh karena itu, mereka harus menahan diri dalam kegiatan tersebut, tetapi tetap terlibat dalam kegiatan lain yang menurut mereka masih dalam batas toleransi. Di samping itu, selama mengikuti rangkaian kegiatan, mereka meniatkannya sebagai kegiatan dalam hubungan sosial, bukan pertimbangan spritual.
Terdapat berbagai respon dari keluarga dan masyarakat terhadap keterlibatan orang-orang muslim dalam pelaksanaan tiwah. Pertama, memperlihatkan ekspresi tidak suka. Kedua, bertanya dan mengajak agar mereka mau mengikuti seluruh kegiatan. Ketiga, memaksa agar orang-orang Islam tersebutterlibat penuh dalam seluruh kegiatan. Keempat, tidak memperlihatkan reaksi apapun. Menghadapi berbagai respon tersebut, masyarakat muslim yang terlibat dalam tiwahtetap bersikap santun dan memberikan penjelasan secara halus agar tidak ada masyarakat atau kerabat yang tersinggung. Orang-orang Islam tersebut juga memohon agar tindakan mereka dimaklumi oleh keluarga atau kerabatnya lantaran mereka telah memiliki keyakinan yang berbeda.
Artikel ini dipublikasikan di Jurnal Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Hukum, Vol. 17 No. 2 (2019).
